Gita Wirjawan, saat ini menteri perdagangan,
pernah menyulut kontroversi dengan ajakannya di media massa agar warga
Indonesia mengurangi konsumsi beras. Sebagai gantinya penduduk diimbau untuk
mengubah pola makan karbohidrat, misalnya mengkonsumsi singkong atau ubi.
Argumentasi Gita Wirjawan adalah data BPS 2011, yang menyebutkan bahwa
konsumsi beras per kapita Indonesia 139 kg/tahun, lebih tinggi daripada
konsumsi beras per kapita Malaysia yang hanya 63 kg/tahun. Imbauan Gita
Wirjawan bertujuan baik, yakni mengubah Indonesia menjadi eksportir beras, dari
yang selama ini menjadi negara importer beras nomor satu di dunia. Dengan
mengurangi konsumsi beras, maka dengan tingkat produksi saat ini, 2012 sebesar
68,6 juta ton gabah kering giling (GKG), atau setara 39,1 juta ton beras, maka
Indonesia dapat melakukan ekspor beras, dan swasembada beras.
Apa yang menggelitik pikiran adalah angka konsumsi per
kapita 139 kg/tahun. Beberapa data dari sumber lain menyebutkan 168 kg/tahun (USDA)
dan 128 kg/tahun (FAO). Angka tersebut begitu spektakuler di atas konsumsi
beras per kapita Jepang (60 kg/tahun), China (70 kg/tahun),Thailand (79
kg/tahun). Jika data konsumsi beras per kapita tersebut salah, berakibat pada
kebijakan pangan yang lucu, aneh, dan tidak tepat. Misalnya Peraturan Daerah
Pemerintah Kota Depok agar tiap hari Selasa penduduk Depok tidak makan nasi (One Day No Rice). Alih-alih mengeluarkan
Peraturan Daerah yang ketat membatasi konversi lahan pertanian menjadi lahan
property di Kota Depok demi menjaga produksi beras, Bapak Walikota Depok yang
berasal dari partai Islam itu telah menetapkan makanan halal sebagai makanan “haram”.
Angka Mistik
Adalah menarik ketika saya mencoba mengukur angka
konsumsi per kapita 139 kg/tahun, artinya saya makan nasi 380 gram per hari.
Istri saya mengatakan itu jatah makan satu hari bagi seorang pekerja fisik
kelas berat. Karena rasio penduduk laki-laki dan wanita di Indonesia adalah
sebanding, maka untuk mendapatkan angka 139 kg/tahun itu, penduduk laki-laki
mengkonsumsi > 139, dan penduduk perempuan mengkonsumsi < 139, untuk
mendapatkan angka average di 139. Adalah mustahil semua penduduk laki-laki
Indonesia adalah pekerja fisik berat yang mengkonsumsi beras > 380 gram
sehari.
Beberapa studi yang dilakukan peneliti di Beijing University dan Kyushu University menunjukkan bahwa konsumsi beras menurun dengan meningkatnya pendapatan. Di China dan India, seiring dengan pertumbuhan ekonomi telah mengangkat kelas menengah dan menaikkan pendapatan per kapita penduduk, konsumsi beras per kapita China dan India menurun. Ini selaras dengan kecenderungan di Korea Selatan dan Jepang yang lebih maju perekonomian, konsumsi beras per kapita dalam tingkat yang wajar. Dengan meningkatnya pendapatan maka orang akan lebih terdiversifikasi dalam pola makan.
Fig.9 menunjukkan penelitian Engel tentang
konsumsi per kapita Indonesia, hanya sekitar 1,5 kg/pekan (2006), atau 214
gram/hari. Angka ini lebih rendah daripada data statistic resmi 380 gram/hari.
Sedangkan menurut Kenny G (saxophonis),
konsumsi beras per kapita Indonesia adalah 414 gram/hari, atau 151 kg/tahun.
Jumlah ini jauh di atas “bangsa pemakan beras” lain seperti China, India,
Philippines, Sri Lanka, Thailand, dan setara dengan Bangladesh, Burma, dan
Vietnam.
Karena angka konsumsi beras per kapita Indonesia tersebut tidak rasional, kita perlu tahu darimana angka mistik itu diperoleh, karena data resmi yang keliru akan fatal jika dijadikan acuan kebijakan pemerintah.
Inkonsistensi Data
Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa angka
konsumsi per kapita beras tidak diperoleh melalui sensus atau survei terhadap penduduk.
Apakah Anda tahu persis berapa jumlah beras yang Anda konsumsi per tahun? Berapa
banyak keluarga Indonesia yang menghitung jumlah beras yang dikonsumsi dalam
setahun? Tak pernah ada survei atau sensus.
Jadi satu-satunya kemungkinan adalah bahwa angka konsumsi per kapita diperoleh dari perhitungan, yakni :
Konsumsi per kapita = Konsumsi total Negara / jumlah penduduk
Sedangkan, Konsumsi total dihitung dari rumus :
Produksi + Impor = Konsumsi + Ekspor + Inventory
Atau:
Konsumsi = Produksi + Impor – Ekspor - Inventory
Data produksi dicatat oleh Departemen Pertanian.
Data impor dan ekspor dicatat oleh Departemen Perdagangan. Data inventory
dicatat oleh Bulog. Betul begitu?
Masalahnya adalah banyak data pemerintah tidak
konsisten. Misalnya data impor beras tahun 2011, saya coba mencari dari 4
sumber: Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, BPS, dan Departemen
Pertanian. Saya menemukan dua sumber resmi yang berbeda.
Impor 2011 : Menperin = 1.339.512 ton
Impor
2011 : Deptan = 2.698.989 ton
Lalu, untuk tahun 2012, saya mencari data impor
Jan – April, saya temukan dua sumber resmi yang berbeda.
Impor Jan – Apr 2012 : BPS = 834.000 ton
Impor Jan – Apr 2012 : Deptan = 962.000 ton
Hei, bagaimana kita dapat menghitung akurat angka
konsumsi jika angka dari faktor impor saja simpang siur?
Benar pernyataan Ketua KTNA,
Winarno Tohir bahwa data beras pemerintah diragukan akurasinya. Agen pemerintah
bisa saja menyebutkan impor beras hanya sekian sekian ton, namun kenyataannya dapat lebih
dari itu.
Lingkaran Setan Impor Beras
Kontroversi banyak terjadi ketika menyoal impor
beras. Tahun 2012 ini misalnya Menteri Pertanian Suswono mengatakan (21/9)
bahwa produksi beras surplus 5 juta ton. Tapi kenyataan impor beras versi
Departemen Pertanian Jan – Jul 2012 telah mencapai 1,113 juta ton. Di lain
pihak pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian dan Departemen
Perdagangan menyatakan (19/10) bahwa ijin impor hanya untuk 1 juta ton beras
sepanjang tahun 2012. Timbul pertanyaan: mengapa terjadi ketidaksesuaian antara
ijin impor, realisasi, pengawasan, dan akhirnya terjadi simpang siur pada data
impor resmi pemerintah?
Pemerintah (entah itu siapa) selalu mengatakan
bahwa impor diperlukan untuk menjaga cadangan beras nasional, dan bahwa cadangan
perlu dijaga agar harga beras tidak liar dan dapat dikendalikan. Anehnya, harga
beras nasional seringkali volatil, namun harga beli gabah petani relative tetap
(rendah). Dengan harga beras nasional tinggi dan harga beras dari luar rendah, maka
ada cukup spread margin untuk memelihara lingkaran setan ini.
Berikut ini data Pemerintah (BPS) impor beras Jan –
Apr 2012
Asal | Ton | Nilai, juta USD | USD/ton |
Vietnam | 416.000 | 233 | 560 |
Thailand | 222.000 | 128 | 577 |
India | 150.000 | 70 | 467 |
Pakistan | 36.000 | 14 | 389 |
China | 18.800 | 7 | 372 |
Ternyata, angka konsumsi beras per kapita di Indonesia tidak akurat, dan merupakan puncak gunung es dari persoalan manajemen pengelolaan beras nasional. Alih-alih para pejabat pemerintah menyuruh masyarakat makan gaplek atau tiwul, lebih baik manajemen pengelolaan beras pada khususnya dan kebijakan pangan pada umumnya diperbaiki oleh pemerintah. Ini tidak mudah memang, karena memerlukan kepemimpinan yang kuat dan sanggup mengkoordinasi berbagai kepentingan dan agensi pemerintah. Biarkan masyarakat tetap makan nasi, karena bagaimanapun setelah pendapatan per kapita meningkat, warga Indonesia akan mulai makan pizza atau hot dog atau spaghetti. [eprad (c) Oct-2012]
Bacaan:
bahasanx menarik sekali bung..
ReplyDeletesekalian numpang nanya sapa tau ada data tentang konsumsi beras nasional per 5 tahun terakhir..
thankz..
http://www.indexmundi.com/agriculture/?country=id&commodity=milled-rice&graph=domestic-consumption
Deletethanks bung
Mas , bisa minta data konsumsi beras per provinsi selama 15 tahun terakhir? Sy kesulitan dlm memperoleh data tsb
ReplyDeletebahasannya menarik gan, dapat ilmu byk dari sini, terima kasih
ReplyDelete